Dalam Islam, produk halal merupakan keharusan dan sudah disampaikan secara jelas dalam Al-Qur’an.
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqoroh:168)
Apa
itu Halal? Menurut LPPOM MUI, Halal berarti harus bersih dan murni dibuat
sesuai dengan Hukum Islam, yang meliputi larangan daging babi dan turunannya,
darah dan turunannya, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, hewan
yang belum disembelih atau mati sebelum disembelih, hewan karnivora dan
barang-barang yang mengandung alkohol/miras.
Sebagai
negara berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan muslim terbesar sedunia,
Indonesia sampai saat ini belum memiliki sebuah ketentuan hukum yang dapat
menjamin kehalalan produk yang akan dikonsumsi masyarakatnya. Sehingga banyak
produsen makanan, dan tidak jarang pula yang menggunakan bahan-bahan yang masih
belum bisa diyakini kehalalannya, misalnya gelatin. Selain itu pengolahan
makanan dengan menggunaka angciu yang secara fiqih tergolong haram sebagai
penyedap rasa.
Hal
ini menjadi sebuah landasan berpikir bahwa kehalalan adalah suatu hal yang
mutlak perlu dalam negara Indonesia, dimana negara ini merupakan negara
mayoritas berpenduduk muslim. Masyarakat juga masih banyak yang belum mengerti
benar mengenai apa itu halal, produk halal, dan kondisi pengolahan produk halal
serta apa pentingnya kehalalan.
Menurut
data terakhir dari Majelis Ulama Indonesia, bulan September 2014, dari produk
yang terdaftar di BPOM RI yaitu 181.590, yang sudah bersertifikat halal dari
MUI adalah sebanyak 172.813. Dari data tersebut dapat disimpulkan masih kurang
lebih 9000 produk yang beredar di pasaran masih belum diakui kehalalannya. Hal
tersebut membuat masyarakat muslim menjadi resah dan tidak merasa aman.
Menurut
Ledia Hanifa Amaliah, Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal dalam kesempatan
seminar “Jaminan Produk Halal : Keniscayaan di negara mayoritas muslim terbesar di dunia”
di Universitas Sahid Jakarta pada tanggal 17 September 2014, Jika kondisi ini
tidak disikapi dengan regulasi yang baik, maka masyarakat akan terombang ambing
dalam ketidakpastian. Oleh karena itu RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH)
menjadi sangat perlu dan mendesak disusun agar bisa menjawab masalah-masalah
tersebut.
Sertifikasi
kehalalan juga menarik dalam sistem perdagangan internasional untuk memperkuat
pasar dan meningkatkan daya saing. Dengan sertifikat halal tersebut, suatu
negara dapat meraih masyarakat muslim dunia yang membutuhkan produk aman dan
tidak melanggar syariat Islam. Negara dengan jumlah muslim minoritas seperti Filipina
dan Thailand (negara mayoritas penganut agama Budha) juga mengupayakan dengan
serius adanya pengembangan produk halal. Menurut mereka, pengembangan produk
halal menjadi keberhasilan internasional.
Gagasan
RUU JPH ini memiliki kendala yang cukup berat, dikarenakan dari banyak pihak yang masih kontra dengan usulan
ini. Seperti diantaranya KADIN, Asosiasi Farmasi dan bahkan Menteri Kesehatan
yang tidak setuju adanya RUU JPH ini dengan berbagai alasan. Dan bahkan ketika
memasuki proses harmonisasi RUU JPH di Badan Legislasi (Baleg), RUU ini sempat
mendapatkan penolakan dari ketua baleg yang kebetulan non muslim dengan alasan
kehadiran RUU JPH akan mengancam masyarakat non muslim.
Menurut
hemat saya, adanya masyarakat mayoritas muslim adalah suatu hak asasi mereka
untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, tidak terkecuali dalam
mengkonsumsi atau menggunakan produk halal. Hal ini bukan berarti mengesampingkan
masyarakat non muslim, tetapi justru menyamakan hak. Seperti yang diungkapkan
oleh Moh. Mahfud MD (2009), bahwa “Hukum
negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus
memfasilitasi, melindungi, dan menjamin kemanan jika warganya akan melaksanakan
ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.”
Pada
pasal 4, UU Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa konsumen diantaranya
berhak atas: Kenyamanan, keamanan dan keselamatan; informasi yang jelas, benar,
dan jujur. Oleh sebab itu adanya RUU JPH diharapkan mampu untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat muslim dalam mengkonsumsi
produk halal.
Dengan
upaya para penyusun RUU JPH yang sangat keras, alhamdulillah pembahasan RUU JPH
mengalami kemajuan yang luar biasa dan kabarnya menurut Leida, RUU JPH akan
disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR. Semoga cepat
terlaksana sehingga termasuk di dalamnya pelaku usaha yang berani membuat
label-label halal palsu jera, karena ada hukum yang jelas dan mengikat.
Sekian.
Suci
Sandi Wachyuni, S.Tp., M.M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar