Jumat, 19 September 2014

PENTINGNYA UU JAMINAN PRODUK HALAL BAGI MASYARAKAT MUSLIM DI INDONESIA


Dalam Islam, produk halal merupakan keharusan dan sudah disampaikan secara jelas dalam Al-Qur’an.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqoroh:168)

Apa itu Halal? Menurut LPPOM MUI, Halal berarti harus bersih dan murni dibuat sesuai dengan Hukum Islam, yang meliputi larangan daging babi dan turunannya, darah dan turunannya, hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, hewan yang belum disembelih atau mati sebelum disembelih, hewan karnivora dan barang-barang yang mengandung alkohol/miras.

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dan merupakan muslim terbesar sedunia, Indonesia sampai saat ini belum memiliki sebuah ketentuan hukum yang dapat menjamin kehalalan produk yang akan dikonsumsi masyarakatnya. Sehingga banyak produsen makanan, dan tidak jarang pula yang menggunakan bahan-bahan yang masih belum bisa diyakini kehalalannya, misalnya gelatin. Selain itu pengolahan makanan dengan menggunaka angciu yang secara fiqih tergolong haram sebagai penyedap rasa.

Hal ini menjadi sebuah landasan berpikir bahwa kehalalan adalah suatu hal yang mutlak perlu dalam negara Indonesia, dimana negara ini merupakan negara mayoritas berpenduduk muslim. Masyarakat juga masih banyak yang belum mengerti benar mengenai apa itu halal, produk halal, dan kondisi pengolahan produk halal serta apa pentingnya kehalalan.

Menurut data terakhir dari Majelis Ulama Indonesia, bulan September 2014, dari produk yang terdaftar di BPOM RI yaitu 181.590, yang sudah bersertifikat halal dari MUI adalah sebanyak 172.813. Dari data tersebut dapat disimpulkan masih kurang lebih 9000 produk yang beredar di pasaran masih belum diakui kehalalannya. Hal tersebut membuat masyarakat muslim menjadi resah dan tidak merasa aman.

Menurut Ledia Hanifa Amaliah, Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal dalam kesempatan seminar “Jaminan Produk Halal : Keniscayaan di negara mayoritas muslim terbesar di dunia” di Universitas Sahid Jakarta pada tanggal 17 September 2014, Jika kondisi ini tidak disikapi dengan regulasi yang baik, maka masyarakat akan terombang ambing dalam ketidakpastian. Oleh karena itu RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH) menjadi sangat perlu dan mendesak disusun agar bisa menjawab masalah-masalah tersebut.

Sertifikasi kehalalan juga menarik dalam sistem perdagangan internasional untuk memperkuat pasar dan meningkatkan daya saing. Dengan sertifikat halal tersebut, suatu negara dapat meraih masyarakat muslim dunia yang membutuhkan produk aman dan tidak melanggar syariat Islam. Negara dengan jumlah muslim minoritas seperti Filipina dan Thailand (negara mayoritas penganut agama Budha) juga mengupayakan dengan serius adanya pengembangan produk halal. Menurut mereka, pengembangan produk halal menjadi keberhasilan internasional.

Gagasan RUU JPH ini memiliki kendala yang cukup berat, dikarenakan dari  banyak pihak yang masih kontra dengan usulan ini. Seperti diantaranya KADIN, Asosiasi Farmasi dan bahkan Menteri Kesehatan yang tidak setuju adanya RUU JPH ini dengan berbagai alasan. Dan bahkan ketika memasuki proses harmonisasi RUU JPH di Badan Legislasi (Baleg), RUU ini sempat mendapatkan penolakan dari ketua baleg yang kebetulan non muslim dengan alasan kehadiran RUU JPH akan mengancam masyarakat non muslim.

Menurut hemat saya, adanya masyarakat mayoritas muslim adalah suatu hak asasi mereka untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, tidak terkecuali dalam mengkonsumsi atau menggunakan produk halal. Hal ini bukan berarti mengesampingkan masyarakat non muslim, tetapi justru menyamakan hak. Seperti yang diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD (2009), bahwa “Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin kemanan jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.”

Pada pasal 4, UU Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa konsumen diantaranya berhak atas: Kenyamanan, keamanan dan keselamatan; informasi yang jelas, benar, dan jujur. Oleh sebab itu adanya RUU JPH diharapkan mampu untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat muslim dalam mengkonsumsi produk halal.


Dengan upaya para penyusun RUU JPH yang sangat keras, alhamdulillah pembahasan RUU JPH mengalami kemajuan yang luar biasa dan kabarnya menurut Leida, RUU JPH akan disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR. Semoga cepat terlaksana sehingga termasuk di dalamnya pelaku usaha yang berani membuat label-label halal palsu jera, karena ada hukum yang jelas dan mengikat.


Sekian.

Suci Sandi Wachyuni, S.Tp., M.M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar